Aplikasi Pelat Baja Pada Bangunan Tahan Gempa

Setiap kali terjadi gempa, selalu saja ribuan bangunan mengalami kerusakan. Rata-rata terjadi di kawasan pedesaan yang proses pendirian bangunan itu masih asal-asalan. Padahal, seluruh wilayah Indonesia, minus Kalimantan dan sebagian Sulawesi, adalah wilayah rawan gempa.

Jika diteliti, bangunan yang roboh rata-rata adalah milik warga biasa yang membangun rumahnya dengan bantuan tukang atau buruh bangunan. Sementara pembangunan gedung-gedung besar dilakukan atas petunjuk konsultan perencana sehingga relatif aman dari risiko gempa.

Sebuah rumah tahan terhadap gempa paling tidak karena tiga hal. Pertama, strukturnya memang kuat dan mampu menahan guncangan. Yang kedua, ia memiliki peredam guncangan (shock absorber) di fondasinya. Yang ketiga, rumah tersebut punya kontrol vibrasi yang bagus. Jika tidak memiliki satu saja di antara ketiganya, bisa dipastikan sebuah rumah akan ambruk ketika terjadi gempa.

Rumah yang memiliki sistem kontrol vibrasi tidak terlalu populer atau terbilang jarang. Biasanya rumah tersebut menggunakan bumper atau pegas atau bahkan sistem peredam hidrolis. Namun, bisa dipastikan itu tidak efektif dan kurang praktis jika diterapkan di Indonesia. Biaya pembuatannya juga relatif mahal.






Yang paling mungkin diterapkan di Indonesia adalah penempatan peredam dasar (base isolation). Komponen itu terdiri atas dua pelat baja yang dihubungkan dengan sebuah kolom yang berbentuk tabung. Terbuat dari karet solid (rubber) yang diperkuat fiber ataupun kawat. Seperti ban mobil. Bentuk peredam tersebut mirip karet mooring yang dipasang di dinding dermaga tempat sandar kapal laut.

Peredam itu ditempatkan di dasar setiap tiang penyangga. Posisinya terjepit di antara fondasi dasar dan lantai rumah. Saat terjadi gempa, peredam tersebut mengurangi guncangan secara signifikan. Meskipun fondasi yang di bawah dipermainkan bumi ke kanan dan kiri, rumah di atasnya secara elastis mengikuti getaran itu dengan bantuan karet peredam. Alat tersebut bisa meredam guncangan horizontal maupun vertikal.

Saat ini base isolation masih berupa purwarupa. ITS tengah mengembangkan agar komponen itu bisa diproduksi secara masal dengan harga murah dan terjangkau masyarakat kecil. Selama ini sangat banyak sosialisasi mengenai rumah tahan gempa, tapi tidak berguna. Selalu akan muncul pertanyaan: biayanya berapa? Kalau mahal, orang-orang tidak bakal mau.

Apalagi, jumlah karet di Indonesia sangat melimpah. Base isolation seharusnya bisa diproduksi dengan mudah. Tinggal kualitas dan harganya yang disesuaikan. Untuk rumah dengan satu lantai, cukup kualitas karet rata-rata. Namun, untuk rumah bertingkat dua atau lebih, kualitas karet harus lebih baik. Karena bebannya pun lebih berat.

Selain punya alat peredam, konstruksi rumah harus memenuhi persyaratan minimum untuk tahan gempa. Yang kurang diperhatikan selama ini adalah kehadiran tulangan beton pada dinding rumah. Rumah itu sama dengan tubuh kita, kalau tidak punya tulang ya lemah.

Ada beberapa persyaratan teknis. Pertama, besi atau baja kerangka tulangan. Besi utama yang vertikal harus setebal minimal 10 milimeter, sedangkan besi rusuknya (ring kotak) minimal 8 milimeter. Jarak antar-ring juga harus cukup rapat. Minimal 15 sentimeter. Antartulang juga mesti tersambung dan saling menusuk minimal beberapa puluh sentimeter untuk memastikan kedua elemen saling berpegangan saat terjadi gempa.

Yang tidak boleh dilupakan ialah kehadiran angkur, yakni bagian besi yang melengkung dan menusuk ke dalam fondasi sloof. Panjangnya minimal 40 sentimeter.

Selain itu, untuk penguatan dinding, ada baiknya menambahkan jejaring kawat saat menyusun batu bata. Memang sedikit lebih mahal, tapi baik untuk melindungi penghuni rumah saat struktur rumah gagal. Banyak korban tewas gara-gara tertimpa tembok rumah yang berat. Jejaring kawat bisa juga dipasang di sisi luar dinding.

Yang juga tidak boleh dilupakan adalah atap. Tren saat ini sudah bagus. Banyak pengembang perumahan yang menggalakkan pengĂ‚­gunaan baja ringan seperti galvalum atau aluminium untuk membentuk kuda-kuda atap. Penggunaan bahan yang ringan sangat penting karena posisi atap berada di atas.

Saat terjadi gempa, sangat penting mengurangi berat massa dari atap. Semakin berat massa, akan semakin banyak momentum yang dihasilkan karena guncangan. Sebab, pada dasarnya guncangan adalah soal kecepatan. Kalau bahan yang diguncang ringan, tidak akan ada kecepatan.

Saat ini sudah banyak dikembangkan bahan penutup atap selain genting yang lebih ringan. Bahkan, ada beberapa yang sudah memproduksi atap seng dengan lapisan glasswool, rockwool, dan acourete fiber. Atap seng dikeluhkan karena berisik saat hujan dan membuat rumah jadi sumuk saat terik matahari. Nah, glasswool bisa menjadi pelapis untuk meredam suara dan panas.


Oleh: Prof Tavio, Guru Besar Teknik Sipil ITS*
*) Penggagas Struktur Beton Tahan Gempa
Sumber: Jawa Pos